Samarinda, Sekala.id – Banjir di Samarinda seolah sudah menjadi agenda tahunan. Setiap hujan deras turun, air meluap, merendam jalan, rumah, hingga area bisnis kota. Warga mengeluh, pemerintah sibuk menanggulangi dampak, tapi pertanyaan mendasarnya tetap tak terjawab, mengapa banjir ini terus berulang?
Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), Akmal Malik, punya jawabannya. Ia menuding kerusakan di hulu Sungai Karang Mumus (SKM) sebagai biang keladi.
“Selama ini kita hanya sibuk mengatasi di hilir. Padahal, masalah utama ada di hulu,” katanya, Jumat, 31 Januari 2025.
Wilayah Pampang dan sekitarnya, yang sebagian masuk Samarinda dan sebagian lagi di Kutai Kartanegara (Kukar), menjadi titik kritis. Di sana, pembukaan lahan terjadi secara masif. Hutan yang dulu menjadi penahan air kini berubah menjadi lahan terbuka. Akibatnya, saat hujan turun, air langsung mengalir deras ke Bendungan Benanga, menyebabkan debit meningkat drastis dan meluap ke kota.
“Kalau kita tidak menangani hulu, banjir di Samarinda akan semakin parah setiap tahunnya,” ujar Akmal.
Masalahnya, upaya penyelesaian tak bisa hanya mengandalkan Samarinda. Aliran air dari wilayah Kukar ikut menyuplai debit yang membebani kota. Namun, koordinasi antardaerah masih jauh dari ideal. Pemkot Samarinda tak bisa bekerja sendiri, sementara Pemkab Kukar tak bisa sekadar menonton.
“Banjir ini bukan cuma masalah satu daerah. Air tidak kenal batas administratif,” tegas Akmal.
Ia mengusulkan strategi baru: membangun sistem penampungan di hulu untuk menahan air sebelum masuk ke kota. Selain itu, kapasitas Bendungan Benanga di Lempake perlu ditingkatkan agar mampu menampung lebih banyak air. Namun, solusi menyalurkan air ke Sungai Mahakam juga tak semudah membalik telapak tangan.
“Mahakam juga meluap saat hujan deras. Mungkin kita perlu pompanisasi agar air lebih cepat mengalir ke hilir,” kata Akmal. (Jor/El/Sekala)